Selasa, 10 Januari 2012

Guru Eksakta, Mengapa (Terasa) Langka?



KabarIndonesia - Seingat saya, medio tahun lalu sempat membaca di salah satu kolom media cetak yang terbit di Kepri dengan tajuk “Dicari Guru”. Meski awalnya sedikit menyentil tentang adanya ketidaksepadanan antara rilis penelitian salah satu Perguruan Tinggi setempat dengan pemerintah daerahnya terkait kekurangan guru. Tulisan yang bertajuk “Dicari Guru” itu sepertinya lebih fokus pada fakta mengenai kekurangan guru di bidang eksakta.

Sekarang? Sepertinya memang benar. Kenyataannya semakin terbuktikan –paling tidak bagi penulis- setelah dalam waktu bersamaan mendapat SMS dari beberapa kerabat yang masih dalam kawasan satu provinsi dengan kabupaten yang berbeda tentunya. Inti pesan singkat tersebut adalah "Tolong carikan guru matematika, kimia dan fisika!" Selebihnya bisa kita lihat dari iklan di beberapa media cetak. “Dicari: Guru Matematika, Fisika, Biologi, Kimia.”  Bahkan sampai hari ini di tempat penulis mendidik, kekurangan para guru ini belum terobati.

Mengapa pelajaran eksakta termasuk matematika di dalamnya menjadi sesuatu yang menakutkan bagi peserta didik?  Pertama, karena pembelajarannya yang susah. Kedua, berkaitan dengan cara mengajar gurunya yang tidak menarik.


Mempertanyakan Apresiasi yang Diberikan
Tanpa menyalahkan sama sekali kedua jawaban tersebut. Perihal yang tidak kalah penting untuk didiagnosis adalah bagaimana perhatian terhadap guru atau calon guru eksaktanya? Sebuah kesepakatan yang tidak dipungkiri, pada umumnya materi pelajaran eksakta mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Walau tidak sepenuhnya benar, pengalaman dari SD sampai ke jenjang perkuliahan telah membuktikan kita untuk meraih nilai tertinggi di ilmu yang banyak menghitung ini bukanlah hal yang mudah. Bahkan ada perbandingan yang kerap kali muncul dalam obrolan perkuliahan yakni "Anak eksak dapat C itu anugerah, bagi anak sosial itu musibah."

Tanpa bermaksud membuat gape antara ilmu eksak dan rumpun ilmu lainnya, apalagi setelah munculnya tema mengenai kecerdasan majemuk dimana logika matematika hanya menjadi salah satu bagiannya. Namun kenyataan telah menunjukkan kapasitas intelektual dalam ilmu yang berjibun rumus ini harus di atas rata-rata.

Kalau kita bersepakat mengatakan pelajarannya susah, berarti kita harus sepakat juga memberikan apresiasi kepada calon gurunya yang sedang menuntut ilmu di berbagai Perguruan Tinggi itu, bukan? Tentu tidak sekedar memberikan tepuk tangan atau menunggu prestasi mereka menonjol baru diberikan penghargaan. Perhatian lebih haruslah diberikan sesegera mungkin. Prinsip pemberian beasiswa yang sering menyamaratakan setiap jurusan mahasiswa sepertinya harus ditinjau ulang. Alangkah tidak adil rasanya ketika beasiswa yang diberikan besarnya harus sama terhadap mereka yang kuliah di luar jururan eksakta? Terutama jurusan eksakta yang berkaitan dengan ilmu keguruan.

Alasan mengapa diutamakan karena selain harus belajar keras, mereka juga harus belajar untuk mengajarkan dengan baik. Jadi bukan jurusan eksakta di luar ilmu keguruan saja yang beasiswanya diberikan berkali lipat. Sekali lagi, bukan bermaksud mendikotomikan ilmu. Tapi ini realitas yang harus disadari agar kita tidak dihabiskan waktu membahas masalah yang sama dari tahun ke tahun: kekurangan guru eksakta! Entahlah kalau memang masalahnya sengaja diniatkan untuk dipelihara agar bisa memuluskan proyek menebalkan saku. Tak tahulah!

Itu untuk calon gurunya. Bagaimanapula untuk sang gurunya? Kalau tadi kita sepakat materi pelajarannya susah, berarti kita harus sepakati juga cara mengajarnya tidaklah mudah. Di balik kekurangannya sebagai seorang manusia biasa. Para guru yang mengajar pelajaran dengan berbagai hitungan ini harus berusaha lebih keras untuk memahami peserta didiknya. Apalagi ketika momok menakutkan dan menyusahkan pada pelajaran seperti matematika telah menggerogoti alam pikiran sang anak sehingga selain mengajar dengan energi besar, perlu juga upaya awal yang tidak kalah besar untuk membunuh imejmengerikan pada pelajaran tersebut. Paling tidak, selain memberikan metode mengajar terbaik pada pelajaran yang mengerutkan kening ini adalah dengan menebar senyuman ringan. Hingga guru eksakta yang hampir identik dengan killer itu tidak akan berlaku lagi.

Nah, dengan cara mengajar yang tidak begitu mudah itu, apakah kemudian pantas pendapatan mereka disamaratakan dengan guru lain? Apalagi ketika jam pelajarannya lebih banyak dan tuntutan tahunan yang bernama Ujian Nasional (UN) selalu menghantui. Sekali lagi salahkah ketika diberi penghargaan dalam bentuk tunjangan yang lebih? Tentunya dengan tetap memakai azaz berbasis kinerja. Tujuannya agar tidak terjadi pemanfaatan oleh guru yang hanya mendompleng nama sebagai guru eksak.

Akan ada suara protes! Itu sudah pasti. Sekarang yang kita inginkan bukan sekedar protesnya. Mengembalikan semangat belajar bagi siswa dan mengajar bagi guru itu jauh lebih penting sehingga tidak hanya tuntutan sempurna yang diberikan, hak guru ini juga harus ditunaikan dengan sempurna. Dengan royalti yang lebih menjanjikan bukan tidak mungkin nantinya akan banyak peserta didik yang ingin menjadi guru di bidang eksakta. Alhasil pembukaan jurusan eksakta bidang keguruan di berbagai kampus benar-benar atas dasar kebutuhan serta minat para calon mahasiswanya. Bukan karena kebutuhan pemerintahnya akibat kekurangan guru tadi.


Komitmen, Pendistribusian Kerja, dan Akurasi Pendataan

Jika kita sudah berlapang dada, sekarang tinggal komitmen pemerintahnya saja untuk memberikan tanda jasa itu. Termasuklah dalam membangun fasilitas penunjang pembelajaran seperti laboratorium dan kelengkapannya yang memadai. Meminjam kalimat terakhir di kolom tersebut. “Kalau dana tak banyak harus berani berkorban menyisihkan pos yang lain dari APBD.”

Kalau pemerintah sudah berkomitmen. Selanjutnya hanya tinggal melakukan evaluasi pendistribusian para gurunya saja. Hingga tidak hanya terjadi penumpukan di kota dan krisis di desa. Bagaimana cara mengatur pendistribusiannya tentu para pengambil kebijakan lebih bijak dalam hal ini. Sangat mustahil jika tidak terpantau dengan sistem pendataan yang telah menggunakan komputerisasi.

Jngan sampai ketinggalan bagi pemerintah terkait pendataan tersistematis adalah mengenai jumlah mahasiswa yang menutut ilmu di berbagai Perguruan Tinggi. Terkhusus dalam topik ini adalah mengenai berapa persentase dari mereka yang sedang kuliah untuk mempersiapkan diri sebagai guru eksakta. Selanjutnya melalui pendataan yang sempurna akan mendapatkan akurasi data yang tepat. Dengan data yang akurat tentu kita tidak akan dihabiskan waktu lagi oleh saling tanggap-menanggapi tentang setuju atau tidaknya mengenai data kekurangan guru itu.  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar